Jumat, 13 Desember 2019

Persidangan Hukum Acara Perdata

Persidangan Hukum Acara Perdata


Persidangan

Setelah seluruh persyaratan administratif terpenuhi, ketua majelis hakim (yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri) menentukan hari persidangan pertama (121 HIR/145 RBg). Hakim memerintahkan juru sita pengadilan untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara setidaknya 3 hari kerja sebelum hari sidang dengan terlebih dahulu membuat berita acara pemanggilan.
Pada tahun 1992, Mahkamah Agung mengatur bahwa perkara pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diharapkan untuk diselesaikan dalam waktu 6 bulan.
Secara umum, persidangan perdata dapat dibagi menjadi delapan tahap sidang, yaitu:
1.     Persidangan pertama, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan pembacaan surat gugatan;
2.     Persidangan kedua, dengan agenda jawaban gugatan;
3.     Persidangan ketiga, dengan agenda replik;
4.     Persidangan keempat, dengan agenda duplik;
5.     Persidangan kelima, dengan agenda pembuktian penggugat;
6.     Persidangan keenam, dengan agenda pembuktian tergugat;
7.     Persidangan ketujuh, dengan agenda menemukan kesimpulan;
8.     Persidangan kedelapan, dengan agenda membacakan putusan.


Persidangan pertama

Persidangan pertama berlangsung dengan dua skenario: jika kedua pihak yang berperkara hadir atau tidak hadir.
Apabila kedua pihak yang berperkara hadir, sidang dibuka dan terbuka untuk umum. Majelis hakim kemudian menanyakan dan memerika identitas pihak-pihak. Hakim kemudian melakukan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Pengusahaan perdamaian dianggap sangat penting karena dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan tanpa ongkos.
(1) Apabila pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maa pengadilan dengan perantaraan ketua sidang berusaha mendamaikan mereka.
(2) Jika perdamaian tercapai pada waktu persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan sebagaimana putusan biasa.
(3) Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.
— Pasal 130 ayat (1), (2), dan (3) HIR dan pasal 154 ayat (1), (2), dan (3) RBg.
Jika perdamaian tidak dapat tercapai, sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Setelah surat gugatan dibacakan, hakim harus menanyakan kepada penggugat apakah gugatan tetap sebagaimana yang dibacakan atau akan ada perubahan.
Apabila salah satu dari penggugat atau tergugat tidak hadir, maka dapat terjadi dua hal, yaitu pengguguran gugatan atau putusan verstek.
Jika penggugat tidak hadir pada persidangan ini dan tidak pula menunjuk kuasa untuk mewakilinya setelah dipanggil dengan patut, sedangkan tergugat atau kuasa yang ditunjuk mewakilinya hadir, maka gugatan dinyatakan tidak hadir.
Jika tergugat tidak hadir dan tidak pula menunjuk kuasa untuk mewakilinya padahal ia telah dipanggil secara patut, kecuali kalau ternyata bagi pengadilan gugatan tersebut melawan hak/tidak beralasan, maka dijatuhkan putusan verstek (di luar hadir tergugat). Putusan macam ini diatur oleh Pasal 125 HIR dan 149 RBg. Putusan verstek tidak boleh dijalankan sebelum lewat 15 hari dari pemberitahuan kepada tergugat.
Tergugat yang kalah pada putusan verstek dapat menerima atau tidak menerima putusan tersebut. Apabila ia tidak menerima, maka ia berhak mengajukan perlawanan (verzet), yang dapat diterima 14 hari sesudah pemberitahuan jika pemberitahuan putusan diberikan langsung kepada tergugat; atau 14 hari sesudah (pada luar Jawa dan Madura) atau 8 hari sesudah (pada Jawa dan Madura) jika pemberitahuan putusan tidak diberikan lansgung kepada tergugat. Hal ini diatur oleh pasal 129 HIR dan 153 RBg.

Persidangan kedua

Pada persidangan kedua, tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh tergugat. Jawaban gugatan ini dapat disampaikan secara tertulis maupun tidak tertulis/lisan, meskipun Subekti mencatat bahwa HIR pada dasarnya menghendaki jawaban tergugat dilakukan secara lisan.
Jawaban tergugat dapat terdiri atas tiga macam, yaitu:
1.     Jawaban yang mengenai pokok perkara (verweer ten principale)
2.     Eksepsi, yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara;
3.     Rekonvensi, yaitu gugat balas.
Apabila memilih macam pertama, tergugat memberikan pengakuan atau penyangkalan dari isi gugatan yang diajukan oleh penggugat. Jika tergugat mengaku, maka isi gugatan dari penggugat dianggap benar dan si tergugat dianggap terikat dengan pengakuan tersebut sampai ke tingkat banding.  Namun, jika tergugat memberikan penyangkalan atau bantahan, maka bantahan tersebut menyatakan bahwa isi gugatan tersebut sama sekali tidak benar dan/atau tidak beralasan dengan melampirkan bukti-bukti yang jelas dan mendukung.
Tergugat dapat mengajukan eksepsi perihal kewenangan hakim, yaitu yang mempermasalahkan mengenai kekuasaan relatif hakim pada pengadilan tersebut dalam mengadili perkara terkait. Eksepsi ini disebut eksepsi prosesual. Apabila eksepsi dianggap tidak mempunyai alasan, Pengadilan Negeri dapat menolaknya dengan menjatuhkan sebuah putusan sela yang memungkinkan perkara terkait untuk dilanjutkan.
Pasal 132 (a) ayat 1 HIR mengatur bahwa tergugat dapat mengajukan rekonvensi atau gugatan balasan. Gugatan jenis ini adalah hak istimewa yang diberikan hanya kepada tergugat. Gugatan balasan hanya dapat diajukan pada tingkat pertama; apabila pada tingkat pertama tidak diajukan, maka gugatan balasan tidak boleh diajukan pada tingkat banding. Pada tingkat pertama, gugatan balasan dapat diajukan dalam tiap perkara, dengan pengecualian:
1.     Jika penggugat balasan posisinya dalam perkara tersebut adalah bukan sebagai dirinya sendiri, sedangkan gugatan ditujukan kepada dirinya sendiri dan sebaliknya;
2.     Jika Pengadilan Negeri tempat gugatan balasan didaftarkan ternyata tidak berwenang secara mutlak untuk memeriksa pokok perselisihan (lack of absolute jurisdiction);
3.     Jika yang diperselisihkan adalah kompetensi/kewenangan relatif hakim.
Pengadilan Negeri dapat memutus gugatan balasan dalam satu surat putusan.

Persidangan ketiga dan keempat

Pada persidangan ketiga, penggugat mengajukan jawaban atas jawaban tergugat pada persidangan sebelumnya, baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban ini disebut duplik, dan bertujuan untuk meneguhkan isi gugatan penggugat.]

Pada persidangan keempat, tergugat mengajukan jawaban atas duplik yang diajukan oleh penggugat pada persidangan sebelumnya, baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban ini disebut replik, dan bertujuan untuk meneguhkan jawaban tergugat pada persidangan kedua dan membantah isi duplik dari penggugat. 

Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan dan kewenangan mengadili

Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan dan kewenangan mengadili

A. Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan

Penggabungan / kumulasi gugatan ada 2 yaitu :
  1. Kumulasi subjektif yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg) adalah penggugat atau beberapa penggugat melawan (menggugat) beberapa orang tergugat, misalnya Kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang debitur (B, C, D) yang berhuntang secara tanggung renteng (bersama). Atau beberapa penggugat menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwan tuntutan tersebut harus ada hubungan hokum yang erat satu tergugat dengan tergugat lainnya (koneksitas). Kalau tidak ada hubunganya harus digugat secara tersendiri.
  2. Kumulasi objektif yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan), misalnya A menggugat B selain minta dibayar hutang yang belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang tadinya telah dipinjam.

Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
  1. Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
  2. Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
  3. Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendomdalam satu gugatan.

Tujuan penggabungan gugatan :
  1. Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/bertentangan.
  2. Untuk kepentingan beracara yang bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan

B. Kompetensi atau Kewenangan Mengadili

Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan.
Kompetensi ada 2 yaitu :
  1. Kompetensi mutlak/absolut yaitu dilihat dari beban tugas masing-masing badan peradilan. Di Indonesia ada beberapa badan peradilan, misalnya peradilan umum (pengadilan negeri), peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, peradilan niaga (kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual), pengadilan hubungan industrial (perburuhan), peradilan HAM di Indonesia. Jika ada suatu sengketa dibidang tanah, maka yang berwenang (kompetensi asbulut) adalah pengadilan negeri. Atau sengketa warisan bagi orang islam maka yang berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan agama.
  2. Kompetensi relatif/nisbi yaitu dari wilayah hukum masing-masing peradilan. Wilayah hukum peradilan biasanya berdasarkan pada wilayah dimana tempat tinggal tergugat,  misalnya sengketa warisan orang islam tergugatnya berada di Tembilahan (Inhil) maka komptensi relatifnya adalah pengadilan agama Tembilahan. Lain hal jika alamat tergugat berada di kabupaten Rengat, maka kompetensi relatifnya adalah pengadilan agama Rengat. Dalam perkara cerai talak, komptensi relatifnya berdasarkan dimana alamat termohon. Tentang kompetensi relative, hal ini disebutkan dalam Pasal 118 HIR/142 RBg kompetensi relatif adalah pengadilan negeri di tempat tinggal tergugat (asas Actor Sequitor Forum Rei).

Pasal 118 HIR/142 RBg mengatur juga pengecualiannya yaitu :
  1. Diajukan di tempat kediaman tergugat yang terakhir yang sebenarnya apabila tidak diketahui tempat tinggalnya.
  2. Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
  3. Satu tergugat sebagai yang berhutang dan satu lagi penjamin diajukan di tempat tinggal yang berhutang, apabila tempat tinggal tergugat (berhutang) dan tempat turut tergugat (penjamin) berbeda maka diajukan dimana tempat tinggal tergugat.
  4. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  5. Jika objeknya benda tetap diajukan di tempat benda tetap itu berada.
  6. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih (domisili hukum) mka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut (pilihan domisili hukum), namun jika penggugat mau memilih berdasarkan tempat tinggal tergugat, maka gugatan juga dapat diajukan di tempat tinggal tergugat.

Pembuatan, Perubahan, Pencabutan Gugatan

Pembuatan, Perubahan, Pencabutan Gugatan

Pembuatan, Perubahan, Pencabutan Gugatan

A.Teori Pembuatan Gugatan

Ada 2 teori tentang bagaimana menyusun sebuah surat gugatan yaitu :
  1.  Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan tidak cukup hanya menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mewaris, hadiah dsb. Teori sudah ditinggalkan
  2.  Individualiserings Theorie yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam dalam gugatan cukup disebutkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hhukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, misalnya dalam gugatan cukup disebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu. Dasar terjadinya atau sejarah adanya hak milik atas benda itu padanya tidak perlu dimasukan dalam gugatan karenaini dapat dikemukakan di persidangan pengadilan dengan disertai bukti-bukti. Teori ini sesuai dengan system yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana orang boleh beracara secara lisan, tidak ada kewajiban menguasakan kepada ahli hukum dan hakim bersifat aktif.

B. Pencabutan Gugatan

Pencabutan gugatan dapat terjadi:
  1. Sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini adalah tergugat belum memberikan jawaban.
  2. Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila tergugat sudah memberikan jawaban maka harus dengan syarat disetujui oleh pihak tergugat.

Jika gugatan dicabut sebelum tergugat memberikan jawaban maka penggugat masih boleh mengajukan gugatannya kembali dan jika tergugat sudah memberikan jawaban penggugat tidak boleh lagi mengajukan gugatan karena penggugat sudah dianggap melepaskan haknya.

C. Perubahan Gugatan

Perubahan surat gugatan dapat dilakukan dengan syarat :

  1. Tidak boleh mengubah kejadian materil yang menjadi dasar gugatan (MA tanggal 6 Maret 1971 Nomor 209 K/Sip/1970.
  2. Bersifat mengurangi atau tidak menambah tuntutan.

Contoh ad. 1. Penggugat semula menuntut agar tergugat membayar hutangnya berupa sejumlah uang atas dasar “perjanjian hutang piutang”, kemudian diubah atas dasar “perjanjian penitipan uang penggugat pada tergugat”. Perubahan seperti ini tidak diperkenankan.
Contoh ad. 2. Dalam gugatan semula A menutut B agar membayar hutangnya sebesar Rp. 1.000.000. Kemudian A mengubah tuntutannya  agar B membyara hutangnya sebesar 1.000.000 ditambah Bungan 10 % setiap bulan. Perubahan bentuk seperti ini tidak dibenarkan.

Tentang perubahan atau penambahan gugatan tidak diatur dalam HIR/Rbg namun dalam yurisprudensi MA dijelaskan bahwa perubahan atau penambahan gugatan diperkenankan asal tidak merubah dasar gugatan (posita) dan tidak merugikan tergugat dalam pembelaan kepentingannya (MA tgl 11-3-1970 Nomo 454 K/Sip/1970, tanggal 3-12-1974 Nomor 1042 K/Sip/1971 dan tanggal 29-1-1976 Nomor 823 K/Sip/1973). Perubahan tidak diperkenankan kalau pemeriksaan hamper selesai. Semua dali pihak-pihak sudah saling mengemukakan dan pihak sudah memohon putusan kepada majelis hakim (MA tanggal 28-10-1970 Nomo 546 K/Sip/1970).

Kesempatan atau waktu melakukan perubahan gugatan dapat dibagi menjadi 2 tahap :

  1. Sebelum tergugat mengajukan jawaban dapat dilakukan tanpa perlu izin tergugat.
  2. Sesudah tergugat mengajukan jawaban harus dengan izin tergugat jika tidak di setujui perubahan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan :

a)   Tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan terutama tergugat.
b)   Tidak menyimpang dari kejadian materil sebagai penyebab timbulnya perkara.

c)   Tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.

Syarat dan Isi Gugatan

Syarat dan Isi Gugatan

Syarat dan Isi Gugatan

Syarat gugatan :
  1. Gugatan dalam bentuk tertulis.
  2. Diajukan oleh orang yang berkepentingan.
  3. Diajukan ke pengadilan yang berwenang (kompetensi)

Isi gugatan :

Menurut Pasal 8 BRv gugatan memuat :
  1. Identitas para pihak
  2. Dasar atau dalil gugatan/ posita /fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum
  3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/tambahan

Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang berpekara yaitu nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Kalau   mungkin juga agama, umur, dan status kawin.

Fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berpekara (penggugat dan tergugat) yang terdiri dari 2 bagian yaitu : 

1) uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah  merupakan penjelasan duduk perkaranya, 2) uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang  adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan

Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan pengadilan. Jadi, petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan pengadilan. Karena itu, penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas, kalau tidak bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.

Dalam praktek ada 2 petitum yaitu :
  1. Tuntutan pokok (primair) yaitu tuntutan utama yang diminta
  2. Tuntutan tambahan/pelengkap (subsidair) yaitu berupa tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu (uit vierbaar bij vorraad), tuntutan agar tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom), tuntutan akan nafkah bagi istri atau pembagian harta bersama dalam hal gugatan perceraian, dsb.


Pengertian, Ciri-ciri, Bentuk Gugatan

Pengertian, Ciri-ciri, Bentuk Gugatan

Pengertian, Ciri-ciri, Bentuk Gugatan

A.Pengertian Gugatan
  • Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Psl 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
  • Sudikno Mertokusumo,  tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah  main hakim sendiri (eigenrichting).
  • Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.

B. Ciri-Ciri Gugatan
  1. Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
  2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
  3. Bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai tergugat.

C.  Bentuk Gugatan
  1. Gugatan diajukan dapat berbentuk :

  • Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg
  • Lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg

Tentang gugatan lisan “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan”.(Pasal 120 HIR).

Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973 orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan

Yurisprudensi MA tentang syarat dalam menyusun gugatan :
  1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972)
  2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)
  3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975 dll
  4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971)

Tidak memenuhi syarat diatas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)

Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika penggugat/kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke ketua pengadilan. Namun karena sekarang sudah banyak advokat/pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulisa baca.

Dalam hukum acara perdata ada istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak.
  • ·  Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil.
  • ·    Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim dengan melakukan penolakan bermaksud menolah setelah mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini penggugat tidak ada kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat materil  (pembuktian)

Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria

Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria

A. PERKARA PERDATA

Perkara perdata di Pengadilan dibedakan menjadi  2 :

1.Perkara contentiosa : perkara yang di dalamnya terdapat sengketa atau perselisihan.
2.Perkara voluntaria : perkara yang di dalamnya tidak terdapat sengketa atau perselisihan
*   Kepentingan yg bersifat sepihak semata ( For the benefit of one party only ),
*   tidak ada org lain atau pihak ketiga yg ditarik sbg lawan ,
* tetap bersifat Ex parte (Petitum Permohonan hrs murni ttg permintaan penyelesaian kepentingan pemohon) dgn acuan sbb :
a.Isi petitum brp permintaan yg bersifat Deklaratif.
b. Petitum Tdk boleh melibatkan pihak lain yg tdk ikut sbg pemohon.
c.Petitum Tdk bersifat Comdemnatoir.
d.Harus terinci ttg hal-hal yg dikehendaki pemohon
e.Petitum tdk boleh bersifat Composituratau ex Aeque et bono

Perbedaan antara contentiosa dan voluntaria dapat ditinjau dari :

1. Pihak yang berpekara :
Contentiosa, pihak yang berperkara  adalah penggugat dan tergugat. Ada juga isitlah turut tergugat (tergugat II,II, IV  , dst). Pihak ini tidak menguasai objek sengketa atau mempunyai kewajiban melaksanakan sesuatu. Namun hanya sebagai syarat lengkapnya pihak dalam berperkara. Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohon agar tunduk dan taat dan taat terhadap putusan pengadilan (MA tgl 6-8-1973 Nomor 663 K/Sip/1971 tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972). Sedangkan turut penggugat tidak dikenal dalam HIR maupun praktek.
Voluntaria, pihak yang berpekara adalah pemohon.
Istilah pihak pemohon dalam perakra voluntaria diatas,  ini tentunya tidak relevan dengan jika dikaitkan dengan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebab dalam UU tersebut dikenal adanya permohonan dan gugatan perceraian. Permohonan perceraian dilakukan oleh suami kepada istrinya sehingga pihak-pihaknya disebut pemohon dan termohon berarti ada sengketa atau konflik . istilah pihak-pihak yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 adalah tentunya suatu pengecualiaan istilah yang dipakai dalam perkara voluntaria.

2. Aktifitas hakim dalam memeriksa perkara :
Contentiosa, terbatas yang dikemukakan dan diminta oleh pihak-pihak
Voluntaria : hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan karena tugas hakim bercorak administratif.

3. Kebebasan hakim
Contentiosa : hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah ditentukan undang-undang
Voluntaria : hakim memiliki kebebasan menggunakan kebijaksanaannya.

4. Kekuatan mengikat putusan hakim
Contentiosa : hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa serta orang-orang yang telah didengar sebagai saksi.
Voluntaria : mengikat terhadap semua pihak.

5. Hasil akhir perkara :
Hasil suatu gugatan (Contentiosa) adalah berupa putusan (vonis)

Hasil suatu permohonan (voluntaria) adalah penetapan (beschikking).

BANTAHAN TERHADAP POKOK PERKARA

BANTAHAN TERHADAP POKOK PERKARA


Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Dalam hukum acara perdata, setiap orang dan/atau badan hukum yang digugat oleh penggugat di pengadilan, disebut sebagai tergugat dan diberikan hak untuk mengajukan jawaban dan bantahan terhadap pokok perkara dalam gugatan penggugat tersebut.

Bantahan yaitu upaya tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Pengertian ini dapat pula diartikan:
  • ·        Jawaban tergugat mengenai pokok perkara;
  • ·        Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara.

Intisari (esensi) dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat.

Secara teknis, pemeriksaan perkara menjalani proses jawab-menjawab di sidang pengadilan sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik.

Berkaitan erat dengan isi jawaban, maka jawaban tergugat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Jawaban berisi pengakuan (bekentenis);
Tergugat boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession) terhadap sebagian maupun seluruh dalil gugatan penggugat. Tergugat harus sadar bahwa pengakuan terhadap dalil gugatan yang disampaikan dalam jawaban maupun duplik, erat kaitannya dengan sistem pembuktian. Sampai sekarang, Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata masih menempatkan pengakuan sebagai alat bukti

2. Jawaban berisi membantah dalil gugatan;
Hal inilah yang disebut dengan bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale), semua dalil gugatan penggugat dibantah keberadaan dan kebenarannya. Sasaran bantahan, secara teori dan praktek ditujukan kepada 2 (dua) hal, yaitu: (1) kebenaran dalil gugatan dan (2) arah kejadian atau fakta hukum. Oleh karena itu, tergugat harus mempersiapkan dengan jeli dan cerdas dalam mempersiapkan alat bukti pada proses pembuktian untuk mendukung bantahannya terhadap dalil gugatan penggugat. Sebagai tambahan penjelasan, perumusan bantahan dalam jawaban dapat dibarengi dengan eksepsi. Jawaban dengan pola seperti ini harus dirumuskan secara sistematis sehingga jelas bagian mana yang berisi eksepsi dan bagian mana yang memuat bantahan pokok perkara. Tujuannya, untuk memudahkan hakim mempelajarinya.

3. Jawaban tidak memberi pengakuan maupun bantahan.
Sikap lain yang dapat dipilih tergugat, tidak mengakui dan tidak membantah. Jawaban hanya berisi pernyataan, menyerahkan sepenuhnya kebenaran gugatan kepada hakim (referte aan het oordel des rechters), Jadi tergugat menyerahkan sepenuhnya penilaian kebenaran dalil gugatan kepada hakim. Adapun sikap tergugat seperti ini, maka yang harus diperhatikan tergugat adalah bahwa sikap itu dinyatakan secara tegas dalam jawabannya, oleh karenanya sikap menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim untuk menilai kebenaran dalil gugatan tidak dapat diterapkan secara diam-diam. Di lain sisi, hakim juga tidak diperbolehkan untuk menilai sikap penyerahan penilaian dari tergugat sebagai suatu pengakuan, karena sikap tergugat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menguatkan dalil gugatan

Persidangan Hukum Acara Perdata

Persidangan Setelah seluruh persyaratan administratif terpenuhi, ketua majelis hakim (yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan N...