Sabtu, 26 Oktober 2019

KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF

KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIf


MENINJAU KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF

1. Kompetensi Absolut
         
          Kompetensi absolut suatu badan peradilan atribusi kekuasaan berbagai jenis peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 menjelaskan 4 macam lingkungan peradilan di Indonesia yaitu; 

(1) Peradilan Umum 
(2) Peradilan Agama 
(3) Peradilan Militer, dan 
(4) Peradilan Tata Usaha Negara 

        Dalam hal ini, kemudian timbul pertanyaan bila seseorang merasa haknya dilanggar, kemanakah gugatannya harus diajukan ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dipahami kompetensi absolut dan relatif peradilan.  
        
     Apabila seseorang akan menyelesaikan sengketa perdatanya di Peradilan Negeri maka harus berdasarkan perkara-perkara yang termuat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkenaan masalah perkawinan. 
       
    Khusus bagi perkara perkawinan maka yang menjadi wewenang Peradilan Negeri adalah perkawinan bagi orang diluar islam yaitu Kristen, Hindu, Budha, Katholik. Sementara perkara perdata perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, wasiat, sedeqah, dan sengketa ekonomi syariah menjadi kompetensi absolut peradilan Agama. 

2. Kompetensi Relatif

        Sementara itu, kompetensi relatif adalah distribusi kekuasaan badan peradilan sejenis untuk memiliki kewenangan menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. 
       Pasal 118 HIR menetapkan bahwa setiap perkara perdata dimulai dengan pengajuan surat gugatan dan menetapkan pengadilan negeri yang berwenang adalah yang terletak dalam daerah hukum si tergugat bertempat tinggal. Biasanya daerah hukum pengadilan 37 negeri adalah seluruh wilayah suatu kabupaten/kotamadya tertentu. 

Sumber : Dr.Kamarusdiana, M.H Hukum Acara Perdata

Contoh Muatan Kekhususan Surat Kuasa:

Contoh Muatan Kekhususan Surat Kuasa: 

1. SURAT KUASA PENGGUGAT 
     Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai PENGGUGAT, mengajukan gugatan terhadap Fulan bin Fulani, Pekerjaan: Sopir PT Makmur Sejahtera, beralamat di Jalan Gajah Mada Raya No. 1, Jakarta Pusat, sebagai TERGUGAT 1 dan pohan bin pohani, Pekerjaan: Direktur PT Fulus Makmur, beralamat di Jalan Blok M Raya No. 212, Jakarta Selatan, sebagai TERGUGAT II, di pengadilan Negeri Jakarta pusat, mengenai Tuntutan Ganti Kerugian akibat Perbuatan Melawan Hukum yang telah diputus pemidanaannya dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.............., serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu; 
Atau:
.......... di Pengadilan Negeri Bogor, mengenai penguasaan tanpa hak atas tanah hak milik adat Girik C No 0000 Persil 000/DOO seluas 10.100 m2 atas nama Panjul bin Panjuli yang terletak di Jalan Bojongan Rt. 001/03 No. 212, Desa Bojong Kecil, Kelurahan Bojong Sedang, Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu; 


2. SURAT KUASA UNTUK TERGUGAT
        Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai TERGUGAT I, dalam Perkara 26 Perdata No. ................... , di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu; 
        Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya sebagai TERGUGAT II, dalam Perkara Perdata No. ....................., di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu; 

3. SURAT KUASA UNTUK INTERVENSI
       Untuk dan atas nama pemberi kuasa, serta mewakilinya untuk mengajukan INTERVENSI, dalam Perkara Perdata No. ..................., di pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara .......................... sebagai PENGGUGAT lawan ........................... sebagai TERGUGAT, serta segala sesuatu yang berkenaan dengan itu; 

4. SURAT KUASA DARI BADAN HUKUM
            Dibuat diatas surat resmi badan hukum yang bersangkutan jika berupa akta bawah tangan; dan ditanda tangani oleh pihak yang berkompeten pada badan hukum yang bersangkutan sebagai pemegang ilegal mandatory atau persona in judicio, misal; direktur, perwakilan perusahaan asing, pimpinan cabang atau perwakilan perusahaan domestik, pemberes pada badan hukum yang telah dibubarkan.

Sumber: Dr.Kamarusdiana, M.H Hukum Acara Perdata

PENGERTIAN UPAYA HUKUM



 PENGERTIAN UPAYA HUKUM

PENGERTIAN UPAYA HUKUM

      Upaya hukum adalah upaya yang diberikan Undang-undang kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melawan putusan hakim dengan tujuan untuk mencegah dan atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan hakim tersebut akibat adanya penemuan bukti-bukti atau fakta-fakta lain. Dalam hukum acara perdata dikenal ada dua macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. 

       Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undangundang yang bersifat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara, kecuali bila putusan hakim tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vorraad), seperti yang tercantum dalam pasal 180 ayat 1 HIR. 

      Dalam hal ini meskipun para pihak menempuh upaya hukum biasa, namun pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat berjalan terus. Upaya hukum biasa bersifat terbuka untuk setiap putusan hakim, namun wewenang untuk menempuh upaya hukum ini hapus dengan sendirinya bila para pihak menerima putusan yang dijatuhka oleh hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Ada tiga bentuk upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dan kasasi. 

     Berbeda dengan upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa pada dasarnya bersifat tidak dapat menangguhkan eksekusi. Setelah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisde) suatu putusan hakim tidak dapat diubah dan diganggu gugat lagi. Di samping itu, bila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa, maka putusan hakim tersebut telah memiliki kekuatan hukun tetap. Sedangkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebenarnya masih tersedia upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini upaya hukum istimewa adalah suatu bentuk upaya hukum yang hanya diperbolehkan dalam hal-hal tertentu yang tersebut jelas dalam undangundang. Yang termasuk dalam upaya hukum luar biasa ini meliputi peninjauan kembali (reguest civil) dan perlawanan pihak ketiga (derdenverzet)

Sumber : Dr.Kamarusdiana, M.H Hukum Acara Perdata

Alat Bukti Dalam Hukum Acara perdata

Alat Bukti Dalam Hukum Acara perdata

1. Pengertian dan Tujuan Pembuktian
          Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian mutlak yang berlaki bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi pembuktian dalam ilmu hukum merupakan pembuktian yang konvensional, yaitu pembuktian yang memberikan suatu kepastian yang sifatnya tidak mutlak akan tetapi sifatnya relatif atau nisbi. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kebenaran mutlak, ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar, palsu, atau dipalsukan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian historis.

         Membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dengan kata lain, pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil yang digunakan untuk menyangkal.

            Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Dalam perkara pidana mensyaratkan adanya keyakinan hakim berdasarkan bukti-bukti yang sah, sedangkan dalam perkara pedata tidak diperlukan adanya keyakinan hakim, yang penting adalah alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan demikian, dalam hukum acara perdata cukup berupa kebenaran formil saja. Namun secara umum, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti, dan tidak meragukan yang mempunyai akibat hukum.
2. Alat-alat Bukti
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Alat-alat bukti yang dapat diperkenankan di dalam persidangan disebutkn dalam Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a. bukti surat
b. bukti saksi
c. persangkaan
d. pengakuan
e. sumpah
Dalam praktik masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan hakim.
A. Bukti Surat

         Bukti surat atau bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan pemikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis diabagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat lainnya yang bukan akta. Sedangkan akta sendiri dibag lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
1. Akta
Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Pembuktian disini merupakan suatu tindakan bahwa peristiwa hukum telah dilakukan dan akta itu adalah buktinya. Sehelai kuitansi merupakan akta yang tergolong sebagai akta dibawah tangan. Suatu akta haruslah ditandatangan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya atau dengan akta yang dibuat oleh orang lain.
Akta dapat mempunyai fungsi formal, yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurrnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Selain itu, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. Sebagaimana telah disebutkan diatas, akata dibagi menjadi dua yaitu:
a. Akta Otentik
Secara teoritis akata otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis menurut pasal 1868 KUH Pedata akata otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan undang-undang dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akata dibuatnya. Berdasarkan Pasal PJN jo. Pasal 1868 KUH Perdata, notarislah satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian yaitu:
1. kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;
2. kekuatan pembuktian materil, membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi;
3. kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar (orang luar).
Akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Yang pertama merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya bukan dari orang yang namanya diterangkan di dalam akata itu. Contoh dari akta ini adalah berita acara yang dibuat oleh polisi atau panitera pengganti di persidangan. Akta yang kedua yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan juga apa yang dilihat serta dilakukannya, namun isinya dibuat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Contoh dari akta ini adalah akta tentang jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya.
b. Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, jadi semata-mata dibuat Antara para pihak yang berkepentingan. Dalam akta dibawah tangan kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta dibawah tangan.
2. Surat-surat Lainnya yang Bukan Akta
Surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pembuktian sebagai bukti bebas, artinya adalah diserahkan kepada hakim. Dalam praktik surat-surat semacam itu sering digunakan untuk menyusun persangkaan.
B. Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR dan Pasal 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh seorang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperolehnya secara berfikir bukanlah merupakan kesaksian. Keterangan saksi haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan.
Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cra hidup, adat-istiadat, martabat para saksi, dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya sebagai seorang saksi.
Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup, sesuai asas unus testis nullus testis (seorang saksi bukan saksi) dan Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW. Kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak boleh dianggap sebagai sempurna oleh hakim. Gugatan harus ditolak apabila penggugat dalam mempertahankan dalilnya hanya mengajukan seorang saksi tanpa alat bukti lainnya. Keterangan seorang saksi ditambah dengan alat bukti lain baru dapat merupakan alat bukti yang sempurna, misalnya ditambah dengan persangkaan atau pengakuan tergugat.
Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib member kesaksian (Pasal 139 HIR, 165 Rbg, 1909 BW). Namun terhadap asas ini ada batasan atau pengecualian kepada orang-orang yang tidak dapat dijadikan sebagai saksi, yaitu:
1. Orang yang Dianggap Tidak Mampu Bertindak Sebagai Saksi
a. Orang yang tidak mampu secara mutlak
. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (Pasal 145 ayat 1 sub 1 HIR).
. Suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 2 HIR)
b. Orang yang tidak mampu secara relatif
Mereka ini boleh didengar, akan tetapi bukan sebagai saksi. Yang termasuk kedalamnya adalah:
. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 sub 3 jo. Ayat 4 HIR)
. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat (Pasal 145 ayat 1 sub 4 HIR)
2. Orang yang Atas Permintaan Mereka Sendiri Dibebaskan dari Kewajibannya Untuk Memberikan Kesaksian
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak.
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus serta saudara laki-laki dan perempuan daripada suami atau istri salah satu pihak
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah saja.
Seseorang yang dipanggil oleh pengadilan memiliki kewajiban untuk menghadap pengadilan, saksi apabila tidak mengundurkan diri, sebelum memberi keterangan harus disumpah menurut agamanya, dan saksi wajib memberikat keterangan, apabila saksi enggan memberikan keterangan maka atas permintaan dan biaya pihak, hakim dapat memerintahkan menahan saksi
C. Persangkaan
          Pada hakikatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya pembuktian dari ketidakhadiran seseorang pada saat tertentu di suatu tempat dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di tempat yang lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.
Apakah alat bukti itu termasuk persangkaan atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditandatangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukan merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan 2 orang saksi bahwa seseorang ada di tempat X, sedang yang harus dibuktikan adalah bahwa seseorang tersebut tidak ada di tempat X , merupakan persangkaan.
Berdasarkan Pasal 1916 BW adalah persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain:
1. Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari hutang.
3. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim.
4. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atas sumpah oleh salah satu pihak.
D.Pengakuan
         Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan. Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan yang dilakukan diluar sidang. Kedua macam pengakuan tersebut berbeda dalam hal nilai pembuktian. Pengakuan yang dilakuakan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna, sedangkan pengakuan yang dilakukan di luar sidang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim
Pasal 176 HIR menerangkan bahwa suatu pengakuan harus diterima bulat. Hakim tidak boleh memisah-misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan menerima sebagian dari pengakuan sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih diperlukan pembuktian lebih lanjut. Selain ketentuan mengenai pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisah diatas, hukum acara perdata mengenal apa yang disebut sebagai pengakuan yang berembel-embel. Pengakuain ini terdiri dari pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula. Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari gugatan. Sedangkan pengakuan dengan klausula adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan atau menolak gugatan.
E. Sumpah
     Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tndakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Yang disumpah adalah salah satu pihak (penggugat atau tergugat). Sebenarnya dalah hukum acara perdata kita, para pihak yang berdsengketa tidak boleh didengar sebagai saksi, namun dibuka kemungkinan untuk memperoleh keterangan dari para pihak dengan diteguhkan oleh sumpah yang dimasukan dalam golongan alat bukti.
HIR menyebut 3 macam sebagai alat bukti yaitu; sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decicoir), dan sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed).
1. Sumpah pelengkap atau sumpah suppletoir (Pasal 115 HIR)
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
Karna sumpah ini mempunyai fungsi menyelesaikan perkara, maka mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan adanya bukti lawan. pihak lawan membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi pihak yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan request civil setelah putusan pidana yang menyatakan bahwa sumpah itu plsu (Pasal 385 Rv).
2. Sumpah pemutus yang bersifat menentukan atau sumpah decicoir
Meerupakan sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal 156 HIR). Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus bersumpah disebut delaat.
Sumpah ini dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga pembebanan sumpah decisoir dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
Inisiatif untuk membebani sumpah ini dating dari salah satu pihak dan dia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Sumpah decisoir dapat dibebankan kepada siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam suatu perkara.
Akibat mengucapkan sumpah ini adalah kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu (Pasal 242 KUHP)
3. Sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed)
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim kaena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Sumpah ini baru dapat dibebankan kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugin tersebut kecuali dengan penaksiran. Kekuatan pembuktian sumpah ini sama dengan sumpah suppletoir yaitu bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
Telah dikemukan diatas bahwa ada 5 alat bukti yang disebutkan di dalam HIR. Akan tetapi diluar HIR terdapat alat-alat bukti yang data dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa, diantaranya: pemeriksaan setempat dan keerangan ahli.
Pemeriksaan setempat atau descente adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperjelas suatu peristwa dimana pengetahuan tentang peristiwa itu hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu.
Sumber :
Retnowulan Sutantio.1979.Hukum Acara Perdata:dalam Teori dan Praktik.Bandung:Mandar maju.
Sudikno Mertokusumo.2006.Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta:Liberty Yogyakarta.

Jumat, 25 Oktober 2019

Pembuktian


Pembuktian


A. TINJAUAN UMUM PEMBUKTIAN
       
       Dalam tanya jawab di muka sidang pengadilan, para pihak yang berperkara bebas mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan perkaranya. Majelis hakim memperhatikan semua peristiwa yang dikemukan oleh kedua belah pihak. Untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa atau hubungan sungguh-sungguh telah terjadi, majelis hakim memerlukan pembuktian yang meyakinkan guna dapat menerapkan hukumnya secara tepat, benar, dan adil. Oleh karena itu, para pihak yang berperkara wajib memberikan keterangan disertai bukti-bukti menurut hukum mengenai peristiwa-peristiwa atau hubungan hukum yang telah terjadi. Deanga kata lain, perlu pembuktian secara yuridis, yaitu menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberika kepastian kepada majelis hakim mengenai terjadinya peristiwa atau hubungan hukum.                      Pembuktian diperlukan karena ada bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu hak. Pada umumnya, yang menjadi sumber sengketa adalah suatu peristiwa atau hubungan hukum yang mendukung adanya hak. Jadi, yang perlu dibuktikan adalah mengenai peristiwa atau hubungan hukum itulah yang wajib dibuktikan. Jika pihak lawan (tergugat) sudah mengakui atau mengiyakan apa yang digugatkan oleh Penggugat, maka pembuktian tidak diperlukan lagi. 
           Ada suatu peristiwa yang tidak memerlukan pembuktian lagi karena kebenarannya diakui umum, yaitu peristiwa notoir1. Setiap orang pasti mengetahuinya sehingga majelis hakim harus yakin demikian adanya. Hal ini disebabkan: 

1. Peristiwa memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam halhal dibawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.

 a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta diluarnya hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim. 

b. Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut. 

c. Dengan telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
d. Telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian.

 2. Hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa-peristiwa itu ialah: 

a. Apa yang dikenal dengan istilah notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan pembenar untuk suatu tindakan yang bersifat kemasyarakatan yang serius. Lazimnya peristiwa notoir ini diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu hakim yang berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas pula, harus tahu juga akan peristiwa notoir ini, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Seperti tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari kemerdekaan RI. Hal ini tentu merupakan bukan rahasia umum lagi. 

b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dipersidangan dimuka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian-kejadian prosessuil ini dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, misalnya bahwa pihak tergugat tidak datang, bahwa pihak tergugat mengakui gugatan, bahwa pihak penggugat mengajukan barang bukti. 

3. Pengetahuan pengalaman 
          Yang dimaksudkan dengan pengetahuan tentang pengalaman ini adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidaklah termasuk hukum, karena tidak bersifat normatife, tetapi pengalaman semata-mata. Sebaliknya bukan pula merupakan peristiwa tertentu, melainkan merupakan kejadian yang ajeg. Jadi merupakan ketentuan umum berdasarkan pengalaman manusia dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang diajukan dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang diajukan atau yang telah dibuktikan. Pengetahuan tentang pengalaman ini misalnya bahwa mobil yang lari dengan kecepatan 100 km/jam tidak mungkin dihentikan seketika.2 

B. PENGERTIAN PEMBUKTIAN 
          Dalam memeriksa sutau perkara, hakim bertugas untuk mengkonstantir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatntir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau faktafakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. 
          Karena itu pembuktian diartikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 
          Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.3 Disisi lain, membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian ini, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya. 


Sumber : Dr. Kamarusdiana, M.H  Hukum Acara Perdata 


TEKNIK MENYUSUN SURAT GUGATAN

TEKNIK MENYUSUN SURAT GUGATAN


TEKNIK MENYUSUN SURAT GUGATAN




SURAT GUGATAN

                                                                                                               

I.       Pendahuluan



1.  Gugatan harus diajukan oleh yang berkepentingan atau kuasanya, serikat pekerja dapat menjadi kuasa mewakili anggotanya dengan surat kuasa khusus yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan.

2. Setiap gugatan dapat dikabulkan, sepanjang kebenarannya dapat dibuktikan dalam persidangan.

3. Surat gugatan tidak diatur secara baku, namun sekurang-kurangnya harus berisi identitaspara pihak, fundamentum petendi dan petitum.

4. Bahasa dalam surat gugatan harus sederhana, jelas dan sopan tidak boleh cengeng,emosional sebab hakim tidak memutus perkara karena belas kasihan.

5.            Surat gugatan ditujukan kepada ketua Pengadilan


II.      Kerangka dan Isi Surat Gugatan

1.      Kepala surat Berbunyi:
Kepada Yth,
Ketua Pengadilan  ……………….
Jalan ……………………………….


2.      Judul Gugatan & Identitas Para Pihak
Contoh :
“ Perihal ----------------
Yang memuat nama, pekerjaan dan tempat tinggal Penggugat, Tergugat dan turut tergugat.

3.      Apabila berbadan hukum ( PT, Yayasan, Koperasi, Perguruan Tinggi ) maka tergugatnya adalah nama PT nya yang diwakili salah satu direkturnya.

4.      Dasar dan Alasan Gugatan ( Fundamentum Petendi )
adalah dalil-dalil posita tentang adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan dari tuntutan.

Fundamentum Petendi terdiri dari alasan mengenai kejadian dan alasan hukum.
Hal-hal yang penting sebagai kerangka berfikir dalam menyusun dasar dan alasan adalah sebagai berikut :

a.          Posisi para Pihak dalam perselisihan
b.          Obyek perselisihan
c.          Duduknya perselisihan/persoalan ( sebab akibat )
d.         Perincian kerugian
e.          Fakta-fakta, bukti surat, bukti saksi
f.           Dasar hukum
g.          Alasan sita jaminan, putusan serta merta dan proporsional




III.  Petitum atau Tuntutan


1.  Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya Petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas ( ps.8 Rv )

2.  Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut abscuur libel ( gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak tergugat sehingga menyebabkan ditolaknya gugatan ) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.

3.      Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 ( tiga ), yaitu :

a. Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
b. Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
c.  Tuntutan subsidiair atau pengganti.

4.      Meskipun tidak selalu – tetapi seringkali – disamping tuntutan pokok, masih diajukan tuntutan tambahan yang merupakan pelengkap daripada tuntutan pokok.

5.      Biasanya sebagai tuntutan tambahan berwujud :

a.  Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.

b.  Tuntutan “ uitvoerbaar bij voorraad “ yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Dalam praktek permohonan “ uitvoerbaar bij voorrad “ sering dikabulkan. Namun demikian Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah memberi putusan “ uitvoerbaar bij voorraad “ ( instruksi MA tanggal 13 Februari 1958 ).

c.  Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga ( morator ) apabila tuntutan yang dimintakan penggugat berupa sejumlah uang tertentu.

d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa ( dwangsom ), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan.

e. Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan nafkah bagi istri ( ps.59 ayat 2, 62, 65 HOCI. ps 213, 229 BW ) atau pembagian harta ( ps. 66 HOCI.232 BW ).
6. Mengenai tuntutan Subsidair selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidair itu berbunyi “ agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar “ atau mohon putusan yang seadil-adilnya (aequo et bono).

Jadi tujuan daripada tuntutan subsidair adalah agar apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan hakim serta keadilan.

7.   Didalam berperkara dipengadilan kita mengenal gugatan biasa / pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte.

8.      Sebab gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan.

9.      Dengan catatan :

a.  pabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsungmengajukan pencabutan gugatan.

b.  Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapatdilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.


IV. TANDATANGAN DARI PENGGUGAT ATAU KUASA HUKUMNYA


V.    Kesimpulan

Dari apa yang terurai diatas dengan singkat dapat dikatakan bahwa agar gugatan tidak ditolak atau dinyatakan tidak diterima, maka :

1.      Gugatan supaya diajukan kepada pengadilan yang berwenang

2.   Identitas seperti nama, pekerjaan, alamat dan sebagainya dari penggugat dan tergugat harus jelas.

3. Pihak penggugat maupun tergugat harus ada hubungan hukum dengan  pokokpermasalahan.

4.      Pihak penggugat maupun tergugat mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum ( handelingsbek waaamheid ).

5.  Dalil-dalil atau posita gugatan harus mempunyai dasar peristiwa dan dasar hukum ( fundamentum petendi ) yang cukup kuat.

6.      Peristiwa atau permasalahan dalam gugatan belum lampau waktu.

7.      Peristiwa belum pernah diajukan dan diputuskan oleh pengadilan.

8.      Ada atau tidak adanya penundaan masalah.

9.      Jumlah tergugat supaya lengkap.


10.  Pengajuan tuntutan atau petitum yang jelas dan tegas yang dapat terdiri dari petitum primer, petitum tambahan dan petitum subsidair.    

Persidangan Hukum Acara Perdata

Persidangan Setelah seluruh persyaratan administratif terpenuhi, ketua majelis hakim (yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan N...